Di Balik Kekalahan Kandang Melawan PSPS

Tidak ada senyum. Tidak ada ceria. Laga kandang yang seharusnya jadi pesta, malah menjadi duka

FAKHRI Husaini hanya duduk santai sambil sesekali berbisik dengan asistennya, Johny Rining. Di atas kursi, dua orang yang paling berpengaruh pada pola permainan BFC seolah hanya pasrah. Sementara berjarak 15 meter di sisi kanan keduanya, Abdurahman Gurning, pelatih PSPS Pekanbaru bersorak dan memberikan pelukan hangat kepada M Isnaeni. Satu pemandangan yang sangat kontras, kala pertandingan BFC kontra PSPS memasuki menit ke-42. Tepatnya, setelah tim tamu membuat papan skor berubah, 0-1. Itu semua terjadi Minggu (13/2) lalu. Untuk kali kelima selama musim kompetisi Djarum-Indonesia Super League (Djarum-ISL) 2010/2011, BFC kalah di kandang.
Sampai laga bubar, kedudukan tidak berubah. Itu seperti ekspresi wajah Fakhri, serta Johny, yang juga tidak banyak menunjukkan perubahan. Mimik menyesal, dan kecewa karena timnya kalah, juga tidak terlhat. Datar. Ya, gesture keduanya, dan anggota tim lain, termasuk pemain dan ofisial juga sama. Tidak menyesal karena timnya kalah dari sang tamu.
Sementara 5 menit berselang setelah wasit Ole Hadi meniup peluit, puluhan suporter yang menamakan diri mereka Bontang Mania menggelar ritual kecil yang biasa dilakukan suporter di Indonesia yang timnya kalah di kandang. Apalagi kalau bukan meradang. Namun bukan pemain dan pelatih yang menjadi sasaran tembak dari teriakan dan demo kecil-kecilan malam itu. Tapi manajemen klub.
“Bayar gajinya, bayar gajinya, bayar gajinya sekarang juga, sekarang juga, sekarang jugaaa…” begitu koor yang dilantunkan puluhan suporter berkaus merah itu di depan pintu keluar pemain menuju bus mereka. Sampai akhirnya pemain meninggalkan arena Stadion Mulawarman, tempat digelarnya pertandingan, tak ada satupun dari manajemen klub yang terlihat batang hidungnya, dan memberikan penjelasan dan jawaban atas tuntutan si-pemakai kaus merah.
Memang tak perlu ada penjelasan. Semua pemain, bahkan pecinta sepak bola negeri ini sudah tahu akar permasalahan yang terjadi di tubuh tim merupakan evolusi dari PS PKT Bontang itu. Ya, apalagi masalahnya kalau bukan gaji yang telat. Telat karena Pemkot Bontang juga “telat” mencairkan dana APBD. Satu-satunya sumber kehidupan tim yang dapat julukan The Red Equator itu.
Itulah yang menjadikan semua pemain seolah pasrah. Bahkan di saat laga kandang terakhir, sebelum putaran pertama kelar, dan sebelum para pemain menikmati masa rehat seminggu. Pasrah akan nasib. Pasrah akan ketidakjelasan masa depan mereka. Pasrah meski BFC kalah. Dan yang membayang di raut muka pemain, pasrah pulang kampung tanpa membawa oleh-oleh.
Soal kepasrahan itu, Fakhri juga menjelaskannya di ruang konferensi pers. “Yang kami miliki hanya harga diri (sebagai pemain di lapangan atau pelatih untuk memenangkan pertandingan, Red.) pelaku sepak bola. Sudah habis cara saya memotivasi pemain. Ada hal besar di luar permasalahan teknis yang mengganggu dan harus diselesaikan,” tutur Fakhri, yang tetap dengan raut muka yang datar.
Jadilah kini BFC tim pesakitan. Dari seluruh kontestan Djarum-ISL (15 tim), BFC menempati rangking ke-14. Tapi tidak ada yang bisa menggaransi bahwa posisi buncit tidak akan ditempati di akhir kompetisi mendatang. Jika benar terjadi, maka tiket play off promosi-degradasi akan jadi bayaran. Lawannya, tim peringkat keempat Divisi Utama.
Tapi semua belum terlambat, jika memang masih ada keinginan memperbaiki diri. Hanya ada tiga solusi. Pertama soal dana. Yang kedua soal dana. Yang ketiga, juga soal dana. Artinya, semua pangkal dan muara semua ini, adalah sehatnya keuangan klub. Maka, saat inilah yang bisa mengatasi hanya para petinggi klub. Khususnya ketua umum dan pembina. Yang ironisnya, petinggi-petinggi itu tidak terlihat di area stadion, kala BFC keok. Jadi wajar kalau kepasrahan ditunjukkan anggota tim.


sumber berita: kaltimpost
sumber gambar: warta bersama 

0 Komentar